Rabu, 21 Mei 2014

Yang Ada di Otakku tentang Bekerja dan Jalan-jalan B-)


Lagi-lagi di waktu senggang, dikala menunggu data-data masuk dari kebun. Eh, kebun?! Fu Fu Fu :3, Bai de wei eniweiy, saya belum cerita bahwa saya akhirnya terdampar di kebon. Haha, yeah eksistensi binti konsistensi itu ternyata nggak buruk-buruk banget. Bila kemarin saya cerita tentang pilihan hidup dan bekerja, ya alhamdulillah lah, almamater sama pekerjaan bisa 'matching' gini.

Oiya, jauh! bahkan jauh dari itu, saya nggak niat cerita tentang pekerjaan bla.. bla disinih. Hmm.. hari ini cuma mau share sedikit, perasaan tentang bekerja dan berlibur, eh, istirahat lah bisa dibilang. Maap-maap nih, saya adalah penganut aliran anti jadi orang sibuk. Nah, apa sih pengertian orang sibuk? Manurut saya, orang sibuk adalah orang yang nggak bisa mengatur waktu. Kalau kata Pak Ma*io Golden Ways itu, orang sibuk yang tidak bisa membedakan kapan bekerja dan berlibur berhak dipertanyakan perihal kesibukkannya. Ya, penganut aliran anti sibuk ini sih sebenernya bukan karena pikiran yang selewat aja. Adalah pasti sejarah panjang nan berlikunya.

Dahulu saya berfikirir bahwa kuliah, atau sekolah, atau pasca kuliah adalah musim-musimmnya berlibur, musim-musimmnya mengembangkan hobi jalan-jalan, main kesana-kemari bak setrika arang yang dari generasi ke generasi masih dipakai (jadi inget merek laundry di pojokan kota Bogor). Namun, setelah lama bermeditasi dan mencari ilham dan wangsit kesana-kemari sambil mencari alamat palsu, akhirnya saya terpis jauh-jauh. Masuk ke dunia kerja bukan berarti absen atau hengkang dari dunia perjalan-jalanan. Jalan-jalan itu perlu, sama perlunya dengan makan. Justru hobi ini makin menggila sejak saya lulus kuliah dan kembali dari peradaban Belanda dan Cina yang saya alami setahun sebelumnya. Semakin lama bekerja, semakin ingin saya jalan-jalan (yang ini rada lebay sih, soalnya kalau nggak punya duit ya hilang juga semangat jalan nya).Yah, akhirnya saya mengerti perasaanya jadi orang Jakarta, kenapa mereka ngotot banget masuk ke Bogor dikala weekend melanda. Termasuk Saya.

Sekali-lagi, jalan-jalan itu penting sodara-sodara. Hmm, untuk hal ini, mohon fikiran mengenai kita sudah berkeluarga, atau gimana ceritanya kalau kita tiba-tiba ingat kita punya Mamak, Bapak, sederet adik-adik yang masih butuh alokasi dana dari kita yang sudah bekerja, demi kemaslahatan bersama, kita kesampingkan dahulu. Saya ngerti. Jalan-jalan perlu, bahkan sangat perlu biaya. Biaya dari belanja perlengkapan, tranport, dan oleh-oleh. Saya mengerti. Tapi, Satu pemikiran saya adalah jalan-jalan itu tujuannya adalah untuk refrehing. Dan jalan-jalan itu seperti sedekah yang tidak harus jadi 'riya' karena diketahui oleh banyak orang. Oleh karena itu nabung itu perlu. Nabung untuk mengisi pundi-pundi biaya perjalanan ini.  Jalan-jalan oke, foto-foto juga oke, mau di upload fotonya juga oke banget malah. Tapi, tidak untuk oleh-oleh (rada pelit sih, tapi ini logis).

Konsep oleh-oleh ini sebenarnya khas sekali di masyarakat Indonesia. Mau jalan ke manapun, sepertinya sangat wajib untuk membawa pulang oleh-oleh, meskipun itu cuma 'pasir'. Tapi Bratha Sistha, pastikan dulu bahwa jalan-jalan juga perlu perencanan yang kuat tapi kilat, dan butuh niat yang lurus. Masalah oleh-oleh itu soal nomor sekian, yang penting enjoy dan refreshnya itu. Jangan sampai pulang jalan-jalan kita pusing karena nggak bisa makan untuk seminggu kedepannya. Hahaha.

Jalan-jalan nggak musti mahal, yang penting bergizi. Itu syarat pokoknya. Soal gimana buat strateginya, itu tergantung kita sendiri. Saya hari ini nggak mau bikin tips aneh-aneh. Coba cari saja di buku atau blog-blog treveling, disana ada berjuta-juta cerita.

Balik lagi ke kenyataan. Saya bekerja, dan Yes! saya juga masih suka jalan-jalan. Lebih tepatnya saya menjelma menjadi penikmat alam. Senjapala! (Sendiri aja penikmat alam). Sebenarnya istilah ini sih untuk oknum yang mengaku pecinta alam. Tapi, saya masih malu mengaku jadi pecinta. Penikmat dulu lah. Insyaalloh karena sering mengeksploitasi (menikmati keindahan tanpa memberi feedback kepada yang dinikmati kan namanya eksploitasi ;) ) saya segera berubah menjadi pecinta dan penjaga.

Dan, bagi saya yang telah bekerja. Saya paham, bahwa kerja itu melelahkan, melelahkan sampai saya berfikir tidak mau menggerakkan badan se-inchi pun dikala weekend. Tapi, rasa jenuh bekerja sama besarnya dengan keinginan untuk melepasnya ke lingkungan. Jenuh harus diurai. Toh, badan ini memang diciptakan untuk terus bergerak, meskipn hanya duduk dan tersenyum saja. Eh, jalan-jalan tidak harus 100% menggerakkan kaki ya! Ada banyak tipenya. Jalan-jalan itu melelahkan, tapi yang namanya cinta, apapun tidak bisa dilogika, termasuk otot-otot yang keram pasca jalan.

Jadi, intinya dari tulisan ini adalah, jalan-jalan dan bekerja itu bukanlah sesuatu yang bertentangan. Sudah kerja kurangi jalan-jalan. Wooh, ya nanti dulu. Kerja nambah, jalan-jalan pun harus makin ngejos. Karena hidup ini adalah perjalanan yang harus di jalani. Ya jalan-jalan itu itung-itung lah buat latihan menjalani hidup (ah, udah makin nggak nyambung!), atau buat latihan sebelum 'the real pilgrim to the west' alias naik haji, amin!.

Dan sudah jam 17.00 WIJ, waktunya pulang!! (Bah!, tumben kali awak hari ini bisa dapat nulis, bisa pulang cepat pula menyapa matahari sore yang makin redup seiring perjalanannya ke ufuk barat).

Hidup Jalan-Jalan!! Never Say Sibuk.
*Kapan-kapan mau cerita lagi soal sibuk ini, keep following ya!